“Aku suka kamu”
“Kenapa?”
“Kalau ga ada kamu, ga seru”
Hatiku berdebar-debar mendengar kalimat yang dia ucapkan itu. Sok-sok jual mahal, aku menimpalinya dengan rajukan, “Kamu kan sudah punya Lina”
“Iya, tapi aku sudah bosan sama dia. Sekarang, di hatiku ada kamu” Sambil memegang tanganku erat.
Semakin melambung hatiku mendengar kalimat terakhir itu. Aku tahu sudah beberapa lama ini aku men-jomblo. Bukan berarti aku ga laku yah, tapi aku memang tipe orang yang pemilih. Aku ga suka cowok yang lebay. Aku juga ga suka cowok yang suka cari perhatian. Aku suka cowok yang misterius. Cowok yang membuat kita penasaran untuk mengenal dia. Bagiku, cowok yang suka tebar pesona berarti dia ga laku. Jangan salahkan aku, paling tidak, itulah tipe orang-orang yang ada di sekitarku.
“Besok aku mau mutusin Lina”
Hah! Sontak aku sangat terkejut mendengar kata-katanya barusan.
“Kenapa?”
Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Aku sangat khawatir dan takut. Memutuskan Lina? Itu sama saja dengan mengatakan pada Lina bahwa dia payah dan aku hebat. Memutuskan Lina berarti merusak hubungan baikku dengan Lina yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Ya, aku dan Lina adalah sahabat dekat. Kami mulai kenal sejak kami berusia 6 tahun. Waktu itu aku sendirian karena merasa minder. Teman-teman saling memamerkan barang-barang mereka yang mahal sedangkan aku tidak memiliki sesuatu yang mahal untuk dipertontonkan ke mereka. Lina mendekatiku dan mengajakku berkenalan. Tidak berhenti di situ, dia juga mengajakku bermain. Senang rasanya waktu itu. Akhirnya aku punya teman.
“Karena kamu”
Karena aku? Ternyata hubungan tanpa status bisa mengarah ke hubungan berstatus. Apakah dia memutuskan Lina untuk jadian denganku? Wah ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku juga suka sama Gerald. Dia baik. Dia punya selera humor yang bagus. Dia juga kaya raya – eh, tapi ini bukan alasan aku suka dia lo – dan dia tidak sombong. Entah kenapa, aku suka orang yang low profile.
“Aku mau jadian sama kamu aja.”
“Eh, ah.. apa?”
Aku hampir lupa untuk merespon Gerald. Ini benar-benar mimpi jadi nyata. Benarkah dia mau jadian sama aku? Wah, akhirnya aku punya pacar. Hatiku semakin berdebar-debar. Apakah ini berarti dia nembak aku? Mungkin dia malu-malu. Tapi..
“Iya, aku mau jadian sama kamu aja. Aku sudah ga mau sama Lina. Sama kamu lebih seru. Lebih menyenangkan”
Pastilah! Aku kan memang mudah bergaul, aku punya banyak teman sekarang. Ya, memang dulu aku tidak punya teman, tapi itu dulu. Sejak pertemuanku dengan Lina, aku belajar berteman. Aku berteman dengan semua orang. Setiap berhenti di jalan, aku menyapa setiap orang yang menatap mataku secara tidak sengaja. Setiap aku masuk lift, aku tersenyum kepada siapapun yang berada di satu lift. Aku telah mempelajari bahwa senyum merupakan salah satu alat utama dalam berteman. Senyum itu first-aid-kit-nya pertemanan. Dan aku sekarang adalah high quality jomblo – walaupun kadang punya hubungan tanpa status juga.
“Um... Gimana dengan Lina?”
“Ya biarin aja. Dia kan cakep, pasti banyak yang mau sama dia.”
“Tapi dia sahabatku. Aku gamau nyakitin dia”
Loh..loh... kenapa aku bilang gitu ke Gerald, jangan-jangan dia berubah pikiran lagi. Aduh! Gimana yah.Aku bingung. Kenapa sekarang aku malah bingung? Bukankah ini yang aku tunggu-tunggu. Aku berdoa supaya punya pacar dan inilah saatnya. Tapi kenapa hatiku tidak tenang ya? Kenapa aku berdebar-debar. Tapi debaran ini bukanlah debaran orang yang bahagia. Ini bukan debaran cinta. Ini debaran rasa bersalah. Ada apa ini?
“Kamu gamau pacaran sama aku?”
Mau, aku mau, tapi aku takut. Aku merasa bersalah sama Lina. Aku bingung.
“Aku mau, tapi aku ga bisa.”
“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan? Bukankah kamu ingin hubungan kita diakui banyak orang?”
“Iya, aku suka sama kamu, Gerald, tapi....”
“Tapi apalagi? Aku juga suka kamu, kita punya perasaan yang sama”
“Aku ga bisa mengkhianati Lina. Dia sahabatku. Aku ga mungkin ngerebut kamu dari dia.”
“........”
“Gerald, kita putus aja. Harusnya aku yang putus hubungan sama kamu, bukan Lina. Aku yang seharusnya ga pernah masuk diantara kalian.”
“Tapi.... aku sudah terlanjur suka sama kamu.”
“Apakah kamu benar-benar sudah ga suka sama Lina? Apakah Lina sudah ga ada di hatimu lagi?”
“.........”
“Gerald, mungkin kamu hanya jenuh, tapi kamu masih sayang sama Lina. Aku juga tahu perasaan itu. Jangan lanjutkan hubungan kita. Kita berteman aja yah? Aku ga mau menyakiti sahabatku sendiri.”
“.....”
“Maaf ya Gerald, aku sayang kamu, tapi aku ga bisa”
“Ya sudah, mungkin bukan sekarang.”
“Kamu baikkan sama Lina yah. Jangan seperti ini lagi. Kita ga boleh berlanjut”
“Ya sudah kalau kamu merasa seperti itu. Aku bisa ngerti. Aku akan baikkan sama Lina”
Ini yang aku suka dari Gerald. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Dia bisa menerima penjelasan orang lain meskipun dia terluka. Gerald, maafkan aku yah. Aku sudah terlanjur masuk ke jurang ini, aku tidak boleh masuk lebih dalam lagi. Aku tidak mungkin menyeret kamu ke dalam jurang ini. Tidak boleh!
“Kalau gitu, aku pergi dulu yah”
“Kamu mau pergi kemana?”
“Hari ini ada janji sama Lina, mau ke mall”
“Ok. Hati-hati yah.”
Aku berusaha tersenyum manis. Aku melambai padanya dan melilhatnya menghilang bersama sepeda motornya. Hatiku menangis dan menjerit. Bahagiaku berubah menjadi sepi dan luka. Air mata perlahan menetes membasahi pipiku. Aku menangis! Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku sudah membuat keputusan. Ini yang terbaik. Buat Lina, Gerald dan aku. Lina adalah sahabatku dan aku tidak mungkin kehilangan seorang seperti dia.
Hatiku tiba-tiba menjadi tentram dan aku mulai beranjak masuk ke rumah. Aku melihat ibuku sedang membuat masakan kesukaanku di dapur. Aku tersenyum dan menyapanya.
“Makan apa malam ini ma?”
regards,